Inilah Sebaik Baik Bid’ah: Buku Panduan Berdebat Dengan Salafi Wahabi

Image Posted on

Beberapa tahun terakhir ini, kita sering disuguhi beberapa pemikiran, yang menurut mereka sebagai pengikut tulen ahlu sunnah dan penganut paham purifikasi (pemurnian tauhid) yang ingin membersihkan Islam dari ajaran-ajaran sesat, khurafat, dan amalan-amalan bid’ah serta selalu mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw.

Mereka sering menganggap bahwa amalan-amalan seperti tawassul (berdo’a pada Allah sambil menyertakan nama seorang yang sholeh atau wali dalam do’anya tersebut), tabarruk (pengambilan barokah), permohonan syafa’at pada Rasulullah saw dan para wali Allah, perayaan Maulid nabi Muhammad saw, isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw, istigho-sah, tahlil/yasinan, shalawatan, menghadiri majlis-majlis dzikir, ziarah kubur, taqlid (mengikuti) kepada imam madzhab tertentu dan yang sejenisnya, sebagai amalan bid’ah yang sesat, dan karenanya harus diluruskan.

Menurut mereka, amalan-amalan seperti yang saya sebutkan itu sebagai amalan sesat, hanya karena amalan-amalan itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Dalil atau dasar yang sering digunakan oleh mereka adalah hadis yang menyatakan bahwa setiap perbuatan bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat pasti akan masuk neraka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw:

كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فىِ النَّارِ…

 أخرجه أحمد (٣/٣١٠، رقم ١٤٣٧٣)، ومسلم (٢/٥٩٢، رقم ٨٦٧)، والنسائى (٣/١٨٨، رقم ١٥٧٨)، وابن ماجه (١/١٧، رقم ٤٥).

“Setiap yang bidah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka.”

 Berdasarkan hadis di atas, mereka menganggap bahwa segala amalan baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan assalafu ash-shalih sebagai amalan bid’ah yang sesat dan pengamalnya tentu akan masuk ke dalam neraka. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik.

Di Indonesia, orang yang sangat getol dan sangat ambisius menggunakan dalil itu dan sering mengklaim ahli bid’ah kepada sesama muslim yang tidak sepaham dengan-nya adalah KH. Mahrus Ali, atau yang sering disebut sebagai Mantan Kiai NU itu. Dalam beberapa karyanya, ia sering menstigmakan kepada kiai NU sebagai kiai ahli bid’ah. Di antara karya-karyanya yang sangat meresahkan orang-orang NU adalah:

1.    Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik (Nariyah, al-Fatih, Munjiyat & Thibbul Qulub);
2.    Amaliyah Sesat di Bulan Ramadhan (Kesyirikan Ngalap Berkah Kubur, Ruwahan, Megengan, dan Kesesatan Dzikir Berjama’ah di Sela-sela Shalat Tarawih),
3.    Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighasah dan Ziarah Para Wali;
4.    Mantan Kiai NU Meluruskan Ritual-Ritual Kiai Ahli Bid’ah yang Dianggap Sunnah;
5.    Mantan Kiai NU Bongkar Habis Kasyidah Syirik Yang Bersarang di Lingkungannya;
6.    Mantan Kiai NU Membongkar Praktek Syirik Kiai, Habib, dan Gus Ahli Bid’ah;
7.    Sesat Tanpa Sadar, Menjawab Buku Buku LBM NU Jember; dan lain sebagainya.   

Jika kita melihat cara-cara dakwah mereka, yang sering mengkafirkan, menghukumi musyrik, dan memberi label ahli bid’ah kepada mereka yang tidak sepaham denganya, seperti yang dilakukan oleh orang seperti KH. Mahrus Ali itu, maka saya berpendapat bahwa paham seperti itu sama seperti yang dilakukan oleh mereka yang mengikuti paham Salafi atau kelompok yang mengikuti paham Muhammad Ibn Abdul Wahab atau yang lebih dikenal dengan paham Wahabi itu. Lalu siapakah sebenarnya penganut paham Salafi Wahabi itu?

Nama salafi sendiri diambil dari kata as-salaf yangberarti orang yang hidup mendahului kita. Kata as-salaf sebenarnya lebih merujuk kepada generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in. Pemaknaan ini lebih didasarkan kepada apa yang dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadisnya yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, yaitu “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemu-dian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengi-kuti mereka (tabi’ al-tabi’in)”.

Oleh karena itu, pengikut salafi adalah orang yang mengklaim dirinya sebagai pengikut jalan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in dalam pemahaman ajaran mereka. Dalam banyak kasus misalnya, mereka sering menuduh ahli bid’ah kepada umat Islam yang mengamalkan tahlilan atau yasinan disebabkan karena amalan itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan para ulama as-salafu ash-shalih seperti sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in.

Untuk membuktikan dan mengukuhkan bahwa mereka adalah penganut salafi adalah sering mereka menga-takan bahwa kalau seandainya amalan tahlilan atau yasinan itu sebagai amalan sunnah, mengapa Nabi saw, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in tidak pernah melakukan amalan itu? Kalau seandainya amalan tahlilan itu sebagai amalan yang baik, tentu para sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in akan lebih dulu melakukannya, tandasnya.

Saya pribadi sebenarnya tidak ingin mempersoalkan makna salafi ini, sebab semua orang Islam pasti mengakui bahwa para sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in merupakan generasi terbaik setelah nabi Muhammad saw. dan kita dianjurkan untuk mengambil sumber pemahaman keislaman kepada mereka. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah bahwa nama salafi ini kemudian tercemari oleh seke-lompok orang yang sering menggembar-gemborkan bahwa dirinya adalah penganut salafi, sementara pemahamannya sangat dangkal dan cenderung menyimpang dari ajaran Islam yang benar yang dianut oleh mayoritas umat Islam.

Nama salafi, yang semula lebih merujuk kepada generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in, namun sekarang lebih dimaknai sebagai kelompok muslimin yang berpegang pada akidah atau keyakinan yang digagas oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, yang mengaku sebagai penerus Ibnu Taimiyyah. Pengikut golongan ini, kemudian sering disebut sebagai golongan Wahabi. Oleh karenanya, kelompok ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kelompok Salafi Wahabi, ketimbang kelompok salafi atau pengikut salaf an sich.

Golongan Wahabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab yang lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia tahun 1115 H (1703 M) dan wafat pada tahun 1206 H (1792 M). Golongan ini sering menafsirkan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. secara tekstual atau harfiah  dan meniadakan arti majazi atau kiasan. Dengan penafsiran model ini, maka mereka dengan mudah membid’ahkan dan mensyirikkan sesama muslim lain yang tidak sepaham dengan mereka.

Golongan ini sebenarnya menolak untuk dijuluki sebagai penganut madzhab Wahabi, dan mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai golongan al-muwahhidun (unita-rians) atau madzhab Salafus Sholeh atau Salafi (pengikut kaum Salaf), karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam menurut sunnah Rasulullah Muhammad saw.

Oleh karena itu, mereka menolak amalan-amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw, sebab, amalan-amalan yang demikian itu sebagai amalan bid’ah dhalalah, dan karenanya pelakunya akan masuk neraka.

Mereka tidak mau tahu apakah para sahabat dalam hidupnya sebenarnya pernah melakukan beberapa amalan bid’ah yang ketika Nabi saw hidup tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Sahabat Umar ibn Khaththab misalnya, pernah mengakui adanya bid’ah hasanah dengan mengata-kan “ni’mat al-bid’ah hadzihi”, sebaik-baik bid’ah adalah ini. Ucapan ini beliau katakan ketika beliau menemui kenyataan atau fakta bahwa ada beberapa jama’ah yang ketika melaksanakan shalat tarawih dengan cara berkelompok dan bahkan ada yang melaksanakannya secara sendirian dalam satu tempat.

Fakta yang saya sebutkan itu hanyalah salah satu dari sekian banyak fakta-fakta sejarah yang pada hakikatnya banyak amalan-amalan yang tidak pernah diamalkan Nabi Muhammad saw, tetapi diamalkan oleh para sahabatnya. Buku ini berusaha mengungkap beberapa amalan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw tetapi pernah dilaku-kan oleh para sahabatnya.

Leave a comment