EPISTEMOLOGI BAYANI: Teks Sebagai Subyek Wacana Kultural Arab-Islam

Posted on Updated on

Oleh Mohammad Nor Ichwan

A. Pendahuluan

Epistimologi[1] atau filsafat ilmu pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang secara khusus mempelajari tentang teori-teori ilmu pengetahuan (theory of knowledge), asal, struktur atau batasan dan metode-metode kesahihan.[2] Bangunan filsafat ilmu yang berkembang di dunia Barat, seperti empirisme,[3] rasionalisme,[4] dan pragmatisme[5] nampaknya masih menyisakan berbagai pertanyaan yang harus dijawab dalam rangka menguji validitas epistem ini. Di antaranya adalah masih relavankan epistem ini bila digunakan sebagai kerangka teori atau perangkat analisis untuk kajian-kajian Islamic Studis yang nota bene selalu mengalami perkembangan dan pasang-surut. Sebab, pergulatan dan perhatian epistimologi keilmuan di Barat lebih menitik-beratkan pada aspek natural science. Sementara itu, islamic studies lebih kepada wilayah humanities dan social science.

Keraguan ini – bagunan filsafat ilmu yang dikembangkan di Barat untuk dijadikan sebagai kerangka teori studi keislaman – antara lain dirasakan oleh Amin Abdullah, yang mengatakan sebagai berikut:

“Filsafat ilmu yang dikembangkan di dunia Barat seperti Rasionalisme, Empirisme, dan Pragmatisme, menurut hemet penulis, tidak cocok untuk dijadikan kerangkan teori dan analisis terhadap pasang-surut dan perkembangan Islamic Studies. Perdebatan, pergumulan dan perhatian epistimologi keilmuan di Barat tersebut lebih terletak pada wilayah Natural Science dan bukannya pada wilayah humanities dan social secience, sedangkan Islamic Studies dan ‘Ulumuddin, khususnya syari’ah, aqidah, tasawuf, ulum al-Qur’an dan ulum al-hadis lebih terletak pada wilayah classical humanities.[6]

Untuk memenuhi kesenjangan ini, maka diperlukan pendekatan baru yang berupa perangkat analisis epistimologis yang mampu mewadahi pola pemikiran Islam. Sudah barang tentu, pendekatan dimaksud tidak harus dipahami sebagai upaya mengabaikan kebudayaan dan pemikiran Barat secara emosional. Sebaliknya, Islam (baca: Arab) harus masuk dalam dialog kritis dengan kebudayaan Barat untuk memahami historisitas dan relativitas konsep, kategori-kategori, dan landasan-landasan kemajuan Barat yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan rasionalitas kritis. Sebab, bagaimanapun juga, kemajuan pemikiran Islam merupakan produk perkembangan sejarah, dan diakui atau tidak pasti dipengaruhi oleh kebudayaan dan pemikiran Barat.

Mungkin dengan alasan inilah, seorang tokoh pemikir Islam kontemporer, seperti ‘Abed al-Jabiri[7] menawarkan bentuk epistimologi yang bercirikan Islam, yang kemudian dikenal dengan epistimologi bayânîy, irfânîy, dan burhânîy, yang ketiganya memiliki karakteristik tersendiri.[8] Ketiga bangunan kefilsafatan ilmu kajian keislaman ini, ia tuangkan dalam dua volume bukunya, yaitu Naqd al-‘Aql al-‘Arâbîy[9] (Kritik Nalar Arab).[10] Sedangkan, buku ketiganya al-‘Aql al-Siyâsîy al-‘Arâbîy: Muhaddituhu wa Tajalliyatuhu (Beirut: al-Markâz al-Tsaqâfiy al-‘Arabîy, 1991), merupakan perwujudan dari konsep-konsep dan paradigma humanities dalam pemikiran keislaman dalam wilayah kehidupan sosial politik yang konkrit dalam masyarakat Muslim.

Secara metodologis, ketiga struktur epistem tersebut jelas dapat dibedakan.[11] Bayânîy misalnya sangat terkait dan terikat pada teks, irfânîy bersifat intuitif dan lebih mengutamakan tanggapan rasa (dzauq), sementara burhânîy menggunakan pendekatan demonstratif. Namun, dalam perjalanan sejarah, ketiga struktur epistimologi tersebut bersinggungan dan saling mempengaruhi pemikiran Arab-Islam. Ada yang mencoba menggabungkan antara tradisi bayânîy-irfânîy, bayânîy-burhânîy, dan burhânîy-irfânîy.[12]

Namun, semenjak al-Ghazali berhasil melancarkan kritik terhadap sebagian tesis-tesis para filosuf paripatetik terutama Ibn Rusyd,[13] epistimologi burhânîy menjadi mandeg dan tidak berkembang. Tradisi bayânîy-lah yang kemudian mendominasi wacana pemikiran di Dunia Arab Islam sampai saat ini.[14] Ini terbukti bahwa secara integral, tradisi pemikiran Arab-Islam didominasi oleh tiga otoritas utama yang diwariskan oleh para ulama pada periode kodifikasi, yaitu sulthah al-lafzhi, sulthah al-ashl dan sulthah al-tazwiz yang telah melahirkan sejumlah teori dan konsep yang berfungsi sebagai piranti metodologis keilmuan yang mengacu pada dominasi peran otoritas teks dan ashl. Dimana, otoritas teks secara ontologis-aksiologis menjadi sesuatu yang taken for granted.

B. Nalar Bayânîy Sebagai Epistimologi

Dalam bukunya, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabîy, al-Jabiri telah menjelaskan secara komprehensif pengertian al-bayân menurut arti etimologisnya dengan mengacu pada kamus bahasa Arab, Lisân al-‘Arâb karya Ibn al-Manzur.[15] Dari uraiannya tersebut dapat disimpulkan bahwa al-bayân mengandung empat pengertian, yaitu pembeda, berbeda, jelas, dan penjelasan. Jika keempat pengertian tersebut hendak dibedakan secara hirarchis, yaitu sebagai metode dan visi, maka dapat dijelaskan bahwa al-bayân sebagai metode berarti ‘pembedaan’ dan ‘penjelasan’. Sedangkan sebagai visi berarti ‘berbeda’ dan ‘jelas’.

Secara historis, aktifitas bayânîy telah dimulai sejak masa-masa Islam yang sangat dini. Tetapi pada masa permulaan ini belum merupakan upaya ilmiah dalam arti identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks-teksnya, melainkan baru sekedar upaya penyebaran tradisional bayânîy saja. Pada tahap selanjutnya, yaitu pada masa kodifikasi (ashr al-tadwin)[16] mulai muncul usaha meletakkan aturan penafsiran wacana (al-khithâb) bayânîy. Upaya inipun, hanya terbatas pada kecenderungan untuk mengungkap karakteristik ekspresi bayânîy dalam al-Qur’an atau bahasa Arab umumnya dari perspektif kebahasaan atau segi gramatikalnya. Beberapa tokoh yang terlibat dalam kegiatan ini antara lain Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H.);[17] Abi Zakariya Yahya bin Ziyad al-Farra (w. 207 H.);[18] Abu ‘Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna (w. 215 H.),[19] dan sebagainya.[20]

Pada tahap selanjutnya, Muhammad bin Idris al-Imam al-Syafi’i (w. 204 H.) merupakan orang yang sangat berjasa dalam membuat aturan-aturan penafsiran wacana bayânîy dalam bentuknya yang lebih makro dan baku yang tidak hanya terpaku pada aspek linguistiknya saja. Atau dengan kata lain, al-Syafi’i merupakan peletak dasar aturan epistem bayaniy. Ini dapat dilihat dari kajiannya yang sangat intens terhadap wacana al-Qur’an dalam perspektif fiqhiyyah. Menurutnya, al-bayan merupakan nama untuk keseluruhan makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama (al-ushul) tetapi berbeda-beda cabangnya (al-furu’).[21] Dengan demikian, dalam al-bayan terdapat dua dimensi yang sangat fundamental, yaitu al-ushul (prinsip-prinsip primer) yang dari sana lalu muncul prinsip-prinsip skunder (al-furu’).

Usaha al-Syafi’i dalam menetapkan teorinya tersebut dinilai kurang lengkap oleh al-Jahizh (w. 255 H.). Menurutnya, teori al-Syafi’i hanya berhenti pada orientasi ‘memahami’ dan belum sampai pada bagaimana ‘cara membuat orang paham’. Oleh karenanya, al-Jahizh berusaha melengkapi teori al-Syafi’i dimaksud dengan lebih menekankan kepentingan orang lain, dan bukan pada kepentingan diri sendiri. Artinya, al-bayan merupakan usaha membuat pendengar paham dan merasa puas akan wacana atau bahkan ia harus dipahami sebagai usaha untuk memenangkan sebuah perdebatan.[22] Dengan demikian, al-Jahizh terlihat lebih intens dalam usaha merumuskan berbagai persyaratan (kualifikasi) pembuatan wacana bukan hanya menafsiran wacana. Dengan demikian ada unsur baru yang masuk dalam unsur pendengar atau pembaca.[23] Namun, inti dari persyaratan yang dikemukakan al-Jahizh adalah adanya kesejajaran antara al-lafazh dan al-makna.

Kedua konsep ini penting karena perkembangan sejarah pemikiran Islam tidak dapat dilepaskan dari kedua persoalan tersebut. Bahkan problem utama atau piranti yang menjadi dasar epistem bayaniy tidak lain adalah al-lafzh dan al-makna. Bagaimana mencermati hubungan antar keduanya dan berbagai implikasinya inilah yang banyak menarik perhatian para ahli bahasa Arab, ahli fiqh, serta mutakallimin. Dalam pandangan mereka, lafazh dan makna merupakan fenomena yang terpisah satu sama lain. Masing-masing berdiri pada kutubnya tanpa adanya keterpengaruhan. Kecenderungan seperti ini akan lebih kita dapatkan pada ahli bahasa. Karena inilah, hubungan antara keduanya nanti terlihat memiliki keragaman kecenderungan dan tunduk pada identifikasi yang berbeda pula.

Upaya al-Jahizh ini oleh Ibn Wahb juga dinilai sebagai suatu yang tidak memuaskan pula. Menurutnya, al-Jahizh tidak mengakaji al-bayan secara sistematis (dirasah al-munadhamah). Oleh karenanya, Ibn Wahb kemudian melengkapinya dengan merumuskan kembali epistem bayaniy sebagai metode dan sistem mendapatkan pengetahuan dan pengklasifikasiannya. Hal ini dapat dimaklumi, karena Ibn Wahb hidup pada masa dimana terjadi pertentangan antara para gramarian (al-nuhah) dan ahli logika (al-manathiqah), antara mereka yang mengembangkan wacana bayaniy (al-nidham al-ma’rifiy al-bayaniy) dengan mereka yang mengembangkan wacana burhaniy (al-nidham al-ma’rifiy al-burhaniy).[24]

Sebenarnya, pandangan Ibn Wahb tersebut bertolak dari diferensia akal manusia. Ibn Wahb membedakannya menjadi dua kategori; (1) mauhûb, yaitu akal yang telah diberikan Allah sewaktu penciptaannya, yang kemudian disebut sebagai gharîzah fîy al-insân (insting yang ada pada diri manusia). Jenis yang disebutkan pertama ini yang membedakan antara manusia dengan yang lainnya; dan (2) maksûb, yaitu akal yang digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas ilmiah, seperti penelitian, penalaran, dan sebagainya. Jenis yang disebutkan terakhir inilah yang menurut Ibn Wahb sebagai alat untuk melakukan aktivitas bayaniy. Oleh karena itu, menurut Ibn Wahb, antara ‘aql dan bayân merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan.[25]

Berdasarkan pemahaman yang demikian itulah, lalu Ibn Wahb membagi al-bayân menjadi empat macam, yaitu (1) bayân al-i’tibâr atau disebut juga dengan bayân al-hâl, yaitu menjelaskan sesuatu dengan zat atau bendanya (dzawât), bukan dengan bahasa (lughah); (2) bayân al-i’tiqâd, yaitu penjelasan yang mampu menghasilkan keyakinan dalam hati ketika sampai pada tahap pemikiran; (3) bayân al-‘ibârah, yaitu penjelasan dengan cara bertutur kata (nathaqa bi al-lisân); dan (4) bayân al-kitâb, yaitu penjelasan yang mampu memberikan pehamaman kepada orang yang jauh (ba’uda) dan asing (ghaba) sekalipun.[26]

Menurut al-Jabiri, yang terpenting untuk dicatat adalah bahwa jika epistimologi bayaniy ini ditelusuri maka akan mendapatkan pasangan pengertian yang akan menjadi pusat kegiatann pemikiran dan membentuk konstruksi umum epistimologi bayaniy ini, yaitu pasangan al-lafzh dan al-ma’na; al-ashl dan al-far’; dan al-khabar dan al-qiyas.[27] Dari ketiga pasangan tersebut, yang menjadi fokus kajian tulisan ini adalah pasangan yang disebutkan pertama, yaitu al-lafzh wa al-ma’na: manthiq al-lughah wa musykil al-dalâlah (Lafazh dan Makna: Logika Bahasa dan Problematika Makna).

C. Al-Lafdz wa al-Ma’na: Logika bahasa dan Problematika Makna

Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa problem epistimologi utama (al-musykilah al-îbistîmûlûgiyah al-raîsiyah) yang menjadi dasar sistem epistimologi bayaniy, atau minimal yang mengembangkan dan menjadi bahan bakunya semenjak masa pembukuan (‘ashr al-tadwîn) hingga sekarang adalah persoalan lafazh (al-lafzh) dan makna (al-ma’na). Bagaimana cara mengidentifikasi hubungan (‘alaqah) antara keduanya. Persoalan ini telah banyak menarik perhatian para ahli bahasa dan gramatika Arab (tafkîr al-lughawiyyîn wa al-nuhâh); menyibukkan para ahli fikih dan teolog (al-fuqahâ’ wa al-mutakallimîn); bahkan menyita perhatian sastrawan dan kritikus sastra.

Pandangan umum dari penganut epistimologi bayaniy – baik dari kalangan ahli bahasa, gramatika Arab, ahli fikih, teolog, para sastrawan, dan juga kritikus sastra – adalah bahwa mereka cenderung melihat antara lafazh dan makna sebagai dua fenomena yang terpisah, atau menimal menjadikan keduanya sebagai dua kutub yang berdiri sendiri dan bebas antara satu dengan yang lain. Kecenderungan seperti ini tampak jelas dikalangan ahli bahasa.[28] Bagi al-Jabiri, dengan mengutip pendapat Adam Schaff, bahwa bahasa tidak saja berfungsi sebagai alat komunikasi atau sarana berfikir, tetapi juga merupakan salah satu wadah yang membatasi ruang lingkup pemikiran.

Sistem bahasa – bukan hanya mencakup kosa katanya tetapi juga sistem gramatika dan semantiknya – punya pengaruh yang cukup signifikan dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsirkan dan menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode berfikir mereka.[29]

Sistem bahasa semacam ini tampak dengan jelas pada masa tadwin, dimana terjadi pembakuan dan kodifikasi bahasa Arab dari bahasa sehari-hari menjadi bahasa resmi dan ilmiah, dari bahasa lisan ke bahasa leksikon.[30] Pembakuan ini berlangsung di tangan al-Khalil ibn Ahmad, dan muridnya Sibawaih. Dalam melakukan kodifikasi dan sistematisasi, al-Khalil berangkat dari argumen ‘kemungkinan-kemungkinan kognitif (mumkinat dzihniyah), dan bukan dari data-data linguistik. Artinya, proses kodifikasi tidak dimaksudkan sebagai pengumpulan atau kompilasi bahasa, tetapi lebih kepada pembuatan dan penciptaan bahasa.[31] Metodo-loginya tersebut pada hakikatnya berangkat dari upaya menciptakan bahasa, yaitu dengan cara menyusun huruf-huruf hijaiyyah dan membahas antara kategori yang musta’mal (kata-kata yang mempunyai makna) dan yang muhmal (tidak memiliki arti dan tidak terpakai, namun berpotensi untuk dipakai dikemudian hari).[32] Persoalannya sekarang adalah mencari garis pemisah yang tegas antara kata-kata yang pernah diucapkan orang Arab dan kata-kata yang tidak pernah diucapkan oleh mereka. Apalagi yang menjadi ukuran adalah tingkat ‘keanehan’ dan ‘keterasingan’ suatu bahasa.

Di sisi lain, ketergantungan pada sistem derivasi (isytiqaq) telah menjadikan kata sebagai titik tolaknya, dan bukan pada makna. Biasanya, kata-kata yang dijadikan sebagai titik tolak dalam proses derivasi adalah bentuk-bentuk kata kerja (fi’il), dan juga sebagai asal. Sementara, bentuk-bentuk kata benda (ism, asma’) merupakan bentuk derivatif dari fi’il tersebut. Proses derivasinya tidak berdasar pada transmisi oral, tetapi lebih kepada wazan (pola-pola baku), yang juga berfungsi sebagai format logikanya.

Dan yang perlu digarisbawahi bahwa masing-masing bentuk-bentuk substantif (jauhar, maqulat) mempunyai perbedaan dalam bentuk fonetiknya. Pola fâ’il menunjukkan arti perbuatan, seperti qâtil (yang membunuh). Pola maf’ul menunjukkan arti sesuatu yang menjadi obyek perbuatan, seperti maqtul (yang terbunuh). Pola fa’âl menunjukkan arti perbuatan yang dilakukan dengan frekuensi yang banyak, seperti qattal (yang sering membunuh). Pola af’al menunjukkan arti lebih, seperti ahsan (yang lebih baik), dan sebagainya.

Dari beberapa contoh bentuk fonetik tersebut, pendengar mampu merasakan hirarki makna yang berbeda-beda, sekalipun ia belum tahu persis makna kata-kata itu. Sebagai contoh kata lazasha yang secara bahasa mungkin tidak ditemukan maknanya dalam berbegai leksikon, karena kata tersebut memang tidak memiliki makna apa-apa (muhmal). Namun, dengan menggunakan pola subtantif-derifatif fa’il, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh tersebut adalah yang melakukan al-zash. Demikian juga, pada lafazh dlârib (yang memukul) menunjukkan arti yang melakukan perbuatan al-dlarb, dan sebagainya.

Dalam gramatika bahasa Arab (nuhah), bentuk substantif-derivatif dari fi’il memunculkan beberapa pola, seperti mashdar (substantif sifat), ism marrah (frekuensi), ism hay’ah (kondisi), ism al-makan (tempat), ism al-zaman (waktu), ism al-alah (sarana), ism fa’il (pelaku), ism maf’ul (objek penderita), al-shifah musabbahah (sifat penegasan), af’al al-tafdhil (sifat lebih), dan amtsilah mubalaghah (bentuk superlatif).

Apabila kita mencermati format logika bahasa Arab sebagaimana di atas, nampaknya ada perbedaan yang sangat mendasar dengan format logika Aristoteles. Jika format logika bahasa Arab – termasuk di dalamnya bahasa-bahasa Semit lainnya – bertolak dari satu pola kata kerja (fi’il), maka logika Aristoteles – yang menurut sebagian sarjana klasik dan modern terkait erat dengan bahasa Yunani – lebih bertolak pada pola substantif (jauhar). Untuk mendapatkan gambaran yang jelas perbedaan antara kedua format logika tersebut, lihat tabel berikut:[33]

Kategori-kategori Logika Aristoteles (Maqulat Aristho)

Kategori-kategori Logika Arab (Musytaqat al-Nuhah al-‘Arab)

Al-Jauhar (Substansi) Al-Fi’l (Kata Kerja)

Al-Kam (Kuantitas, jumlah)

Ism al-Marrah (frekuensi)Amtsilah al-Mubalaghah

(bentuk superlatif)

Al-Kaif (Kualitas, sifat) Ism al-hay’ah (kondisi, suasana)Al-Shifah al-Musyabbahah

(bentuk penegasan

Af’al al-Tafdhil (sifat lebih)

Al-Idhafah (Relasi, hubungan) ?
Al-Makan (Tempat, ruang) Ism al-Makan (tempat)
Al-Zaman (Waktu, masa) Ism al-Zaman (waktu)
Al-Wadh’ (Posisi, sikap) ?
Al-Milkiyah (Keadaan status) ?
Al-Fi’l (Aktivitas, aksi) Ism al-Fa’il (pelaku, subjek)
Al-Infi’al (Affection, pasifitas) Ism al-Maf’ul (Objek penderita)
? Al-Mashdar (bentuk substantif)
? Ism al-Alah (sarana)

Apabila kita mencermati tabel di atas, maka akan didapati beberapa hal berikut ini, yaitu:

Pertama, antara keduanya terdapat ruang kosong yang maing-masing dari keduanya tidak dapat dicari padanannya. Untuk kategori idhafah (relasi), wadl’ (posisi, sikap), dan al-milkiyah (keadaan status, milik) yang terdapat dalam logika Aristoteles tidak dapat dicari padanannya dalam daftar bentuk-bentuk derivasi bahasa Arab. Hal ini karena dalam bahasa Arab hanya ada satu bentuk dasar derivasi, yaitu fi’l. Sementara, ketiga bentuk tersebut dalam logika Aristoteles tidak satupun berkaitan dengan kata kerja (fi’l). Dengan demikian, ketiganya dalam logika bahasa Arab tidak memiliki arti apapun, kecuali jika yang dijadikan titik tolak adalah bentuk substantif atau isim.[34]

Kedua, sama halnya dengan yang disebutkan pertama, dalam logika Aristotels juga tidak ditemukan padanan untuk menyebut al-mashdar (bentuk substantif sifat), yang menunjukkan sebuah peristiwa atau perbuatan yang tidak dibarengi dengan waktu dan ism al-alah (sarana perbuatan), seperti yang terdapat dalam logika bahasa Arab. Keduanya tidak tepat untuk dilekatkan pada substansi (jauhar).

Menurut al-Jabiri, bahwa absennya kedua kategori tersebut dalam logika Aristoteles memiliki arti khusus, terutama bila dikaitkan dengan pemikiran spekulatif. Dalam perspektif ahli bahasa Arab (nuhâh), mashdar merupakan satu bentuk yang menunjukkan perbuatan tanpa disertai dengan waktu tertentu.  Sedangkan, dalam perspektif rasionalis Yunani, sebuah perbuatan yang tanpa disertai dengan waktu merupakan suatu yang tidak mungkin. Menurutnya, antara perbuatan dan masa (waktu) terdapat hubungan yang saling terkait. Sehingga dimungkinkan tumbuhnya pemahaman dan keyakinan soal qadim atau kekalnya alam dan masa yang menyertainya.

Sementara itu, bagi orang Arab suatu peristiwa bisa saja terjadi tanpa ada keterkaitan dengan waktu. Sehingga, memungkinkan keyakinan tentang hadis-nya alam ini, yakni baru, tercipta dan tidak qadim. Menurutnya, bahwa Allah menciptakannya tidak dalam kerangka masa tertentu.

Dari ilustrasi di atas, jelas bahwa ada perbedaan yang mendasar antara logika Aristoteles dengan logika bahasa Arab. Di kalangan ahli gramatikal Arab, nahwu merupakan logika (manthiq) bangsa Arab Muslim, sedangkan logika Aristoteles sebagai gramatika bahasa Yunani. Inilah yang melatarbelakangi perdebatan antara Abu Sa’id al-Sirafi al-Nahwiy al-Mu’taziliy, salah seorang tokoh gramatikal Arab dengan Abu Bysr Matta bin Yunus al-Manthiqiy yang mewakili ahli logika. Perdebatan tersebut terjadi di Baghdad pada tahun 326 H dihadapan Wazir al-Fadl ibn Ja’far al-Furat. Dengan mengutip Abu Hayyan al-Tauhid dalam Al-Imta’ wa al-Mu’anasah (Damaskus: 1978), ‘Abed al-Jabiri menyimpulkan perdebatan kedua tokoh tersebut sebagai berikut:

Manthiq atau logika dalam penilaian Abu Sa’id al-Sirafi “Dibuat dan disusun oleh orang Yunani, didasarkan pada bahasa dan istilah mereka sendiri, termasuk segala hal yang mereka kenal. Sehingga itu hanya berlaku bagi orang-orang Yunani itu sendiri. Ia pun mengatakan dengan tegas kepada Abu Bisyr Matta ibn Yunus, “Jadi, Anda sebenarnya tidak mendorong kita untuk mempelajari ilmu manthiq; justru mengajak kita untuk mempelajari bahasa Yunani”. Karena logika, tepatnya logika Aristoteles, merupakan gramatikanya bahasa Yunani. Sebagaimana halnya nahwu Arab merupakan manthiq-nya bahasa Arab. Kalau begitu, kata Abu Sa’id, “Nahwu merupakan sebuah logika, namun dengan peresapan dari bahasa Arab. Sedang logika merupakan sebuah nahwu, tapi hanya dipahami dalam kerangka bahasa”. Dari sini bisa dilihat bagaimana penggunaan logika Aristoteles, dengan segenap istilah, dicap sebagai “upaya untuk membangun bahasa dalam bahasa yang sudah dianggap mapan dikalangan penuturnya”. Dan hal itu jelas mengundang kebingungan dan kesimpang-siuran.

Abu Sa’id al-Sirafi juga membantah Abu Bisyr Matta ibn Yunus yang menekankan perbedaan antara nahwu dan manthiq. Yang pertama, menurut Matta ibn Yunus, berurusan dengan masalah kata-kata dan istilah-istilah, sedang yang kedua mengkaji persoalan makna. Bantahan Abu Sa’id al-Sirafi yakni perbedaan tersebut hanya merupakan rekayasa Matta sendiri yang tidak punya dasar sama sekali. Alasannya, “Unsur-unsur seperti ucapan, presentasi, bahasa, lafazh, ifshah (pengungkapan murni, jelas dan lugas), i’rab (penguraian kalimat), ibanah (penjelasan), pemberitaan (akhbar, istikhbar), sindiran, harapan, angan-angan, larangan, anjuran, permohonan, panggilan, dan tuntutan, semuanya berasal dari sumber yang sama, baik bentuk maupun strukturnya”.

Pemilahan antara kata dan makna, juga antara nahwu dan manthiq, hanya terjadi “bila seorang ahli manthiq menutup mulutnya. Kemudian mengerahkan otaknya untuk membahas persoalan makna, dan merumuskan makna-makna tersebut melalui bayangan ide-ide dan intuisi yang terlontar begitu saja, secara tiba-tiba dalam hati dan pikirannya. Tanpa menggunakan kata-kata tertentu. Namun, soalnya menjadi lain, ketika ia hendak menjelaskan pikiran-pikirannya atau maknanya kepada orang lain yang bertukar pikiran dengannya atau yang sedang berdebat dengannya. Maka dalam kontek ini ia pasti menggunakan lafazh atau kata-kata tertentu yang menunjukkan makna atau pikirannya tersebut sesuai yang dimaksudkan dan dikehendakinya”. [35]

Dari kutipan yang panjang tersebut dapat dipahami bahwa perdebatan sebenarnya hanya terfokus pada masalah ‘penegasan kandungan logika (manthiq) dalam nahwu, juga perbedaan anggapan tentang kedua epistem tersebut. Ahli manthiq (al-manathiq) melihat bahwa antara nahwu dan manthiq merupakan suatu yang berbeda sebagaimana dikatakan Matta ibn Yunus. Dimana, manthiq lebih berorientasi pada makna sementara nahwu lebih kepada lafazh. Sedangkan, Abu Sa’id al-Sirafi berpendapat bahwa nahwu merupakan sebuah logika, namun dengan peresapan dari bahasa Arab. Sedang logika merupakan sebuah nahwu, tapi hanya dipahami dalam kerangka bahasa”.

Perbedaan mendasar juga dapat dilihat dalam kategorisasi relasi (idhafah)’. Bagi Matta ibn Yunus yang ahli manthiq berpendapat bahwa relasi (idhafah) memiliki kandungan makna yang universal. Sementara, bagi al-Sirafi yang ahli nahwu melihatnya lebih sebagai bersifat partikular dan bukan mafhum (makna yang universal).[36]

Terlepas dari perbedaan di atas, yang jelas dengan masuknya logika Aristoteles dalam beberapa disiplin ilmu keislaman, seperti nahwu, fiqh, dan ilmu kalam – bagi penganutnya – dianggap sebagai “pemaksaan satu bahasa atas bahasa lainnya yang telah diakui para penuturnya”. Menurutnya, fenomena ini merupakan faktor penyebab maraknya berbagai aliran pemikiran dan juga pertentangan dan konflik dalam lingkungan kebudayaan Islam. Mengenai hal ini Imam al-Syafi’i mengatakan: “Orang-orang tidak akan ditimpa kebodohan dan mengalami perpecahan, kecuali ketika mereka telah meninggalkan bahasa Arab dan berpaling ke bahasa Aristoteles”.[37] Menanggapi masalah ini al-Suyuthi berkomentar sebagai berikut:

Beberapa kasus yang terjadi pada masa khalifah al-Ma’mun, seperti pandangan tentang kemakhlukan al-Qur’an dan penafian melihat Tuhan di hari kiamat, beserta perilaku bid’ah-bid’ah lainnya, merupakan akibat kebodohan memahami bahasa Arab, termasuk unsur balaghah maudhu’ah (keindahan bahasa dan pengungkapan) yang terdapat di dalamnya. Ini lantaran pengaruh bahasa Yunani dan logika Aristoteles yang tidak punya titik temu sama sekali dengan bahasa Arab.[38]

Jika ahli nahwu (nuhâh) dalam pola pemikirannya menghubungkan logika bahasa (manthiq al-lughah) dengan logika akal (manthiq al-‘aql) yang membawa mereka pada anggapan bahwa hubungan lafazh dan makna sebagai suatu yang mandiri dan terpisah – seperti yang telah diuraikan di atas, maka bagi ulama ushul fiqh (‘ulama ushul al-fiqh) berusaha menentukan hubungan tersebut dengan istidlal antara pola penunjukan lafazh terhadap makna (dalalah al-lafazh ‘ala al-ma’na) dan pola perubahan akal (tasharruf al-‘aql) di dalamnya.[39]

Dengan demikian, maka aktifitas utama ahli ushul fiqh adalah identifikasi hubungan antara teks dan hukum atau antara dalil dan hukum syar’i. Atau dengan kata lain bahwa mereka berusaha mengidentifikasi hubungan lafazh dan makna dalam wacana syar’i (al-khithab al-syar’iy).

Seberapa jauh dominasi studi linguistik ini dalam aktifitas ushul al-fiqh dapat dilihat misalnya dalam sistematika ushul fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab rujukan utamanya, seperti al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh karya Abu Husein al-Bishriy. Dalam kitab tersebut, sistematikanya dimulai dari al-khithab (wacana) yaitu al-Qur’an dan hadis serta aturan-aturan penafsirannya. Kemudian dilanjutkan dengan ijma’, dan diteruskan dengan qiyas yang pembahasannya berkisar tentang empat hal, yaitu masalah al-ashl (pokok), al-far’ (cabang), al-hukum (makna), dan al-‘illat. Keempatnya terkait langsung dengan pembahasan linguistik, yaitu pembahasan hubungan antara lafazh dan makna.[40]

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa rujukan utama dalam ilmu ushul fiqh itu dimiliki oleh kajian-kajian linguistik (li al-buhus al-lughawiyah) dan diskusi utamanya adalah masalah hubungan antara lafazh dan makna atau problem dalalah (masalah al-dalalah).[41] Secara epistimologis dari seluruh bab yang terdapat dalam kajian ushul fiqh dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya merupakan kajian tentang dalalah, baik dalalah nash (dalalah al-nash) maupun dalalah ma’qul nash (dalalah ma’qul al-nash). Untuk dalalah yang disebutkan pertama merupakan penelitian yang luas terhadap berbagai hubungan yang terjadi antara lafazh dan makna dalam wacana bayaniy yang ditujukan untuk membentuk kaidah. Sedangkan untuk dalalah yang disebutkan kedua atau yang juga disebut sebagai makna wacana (ma’na al-khithab) berkisar pada satu dialog utama, yaitu qiyas.[42]

Kajian tentang qiyas fiqhy ini menempatkan pasangan lafazh dan makna pada posisi al-ashl (prinsip primer). Sementara, kajian masalah pasangan ini mencakup aspek teoritis dan aplikatif yang tidak lain juga diskusi tentang pokok bahasa, boleh tidaknya analogi bahasa, nama-nama syar’i juga kembali persoalan dalalah lafazh terhadap makna. Yang disebutkan terakhir ini berkembang menjadi kajian tentang lafazh ditinjau dari segi makna yang ditunjuknya, dari segi penggunaannya, dari segi tingkat kejelasan maknanya dan dari segi pola dalalahnya. Atau dengan kata lain bahwa ijtihad menurut ahl ushul fiqh hanyalah ijtihad menganai bahasa al-Qur’an.

Implikasinya, mereka menempatkan diskusi linguistik ini di atas maqashid al-syari’ah, yang karenanya mereka justru menonjol dalam al-‘aql al-bayaniy dan epistimologinya. Dengan demikian karakteristik kajian ushul fiqh sebenarnya hanya ada dua, yaitu pertama, bertolak dari lafazh menuju makna; dan kedua, berorientasi pada particularitas yang ditempatkan pada posisi universal karena kajian lafazh-makna signifikansinya melebihi maqashid al-syari’ah.[43]

Seperti halnya ilmu nahwu dan ushul fiqh, dalam ilmu kalam juga terjadi hal-hal serupa, yaitu adanya dominasi atas lafzh dan ma’na sebagai kajian utamanya. Hal ini tidak saja disebabkan oleh karena adanya kenyataan bahwa para theolog (mutakallim) adalah salah satu sisi sebagai seorang ahli fiqh, dan nahwu, tetapi di sisi lain juga karena sebagian besar kajiannya lebih terfokus pada bahasan yang sama, yaitu lafazh dan makna. Demikian juga, dapat dilihat bahwa para mutakallim menempatkan diri pada jalur dialektis baik aturan wacana maupun pembatasan kualifikasi pembuatan wacana. [44]

Di samping fenomena di atas, dominasi studi bahasa dalam ilmu kalam juga di dukung oleh faktor historis, dimana kehadiran theolog (mutakallimun) pada mulanya lebih sebagai propagandis dari suatu aliran tertentu (da’ah madzhab). Oleh karena belum tersedianya perangkat keras yang memadai, maka, retorika merupakan salah satu pilihan yang paling tepat. Di sisi lain, munculnya mutakallmun – pada awalnya – lebih sebagai pemikir (ashhab al-maqalah) dan konseptor (munadhirin) dalam bidang keyakinan agama Islam (al-‘aqidah al-diniyah al-islamiyyah) dan para pembelanya.

Salah satu bentuk konkrit keterlibatan mereka adalah munculnya masalah takwil dan i’jaz al-Qur’an, dengan aturan-aturan penafsiran wacananya (qawanin litafsir al-khithab). Hal ini tampak sekali dari kajian mereka terhadap penciptaan al-Qur’an (khalq al-Qur’an), apakah sebagai makhluk sehingga bersifat baharu (hadits), ataukah kalam Allah, sehingga qidim sifatnya.[45] Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah kalam itu terdiri dari lafazh dan makna atau hanya sekedar kalam nafsi, yang tidak terkait dengan lafazh dan makna.[46]

Dalam pemikiran Arab Islam, ta’wil hanya berlaku untuk wacana al-Qur’an saja,[47] dan tidak lepas dari aturan-aturan bahasan yang sangat ketat. Dengan demikian, kajian lafazh dan makna dalam ta’wil menjadi sangat inten sekali. Oleh karena bahasannya yang sangat ketat dalam pemaknaan, maka ta’wil dalam hal ini tetap dalam dataran bayaniy (dialektis). Oleh karena itu, ada perbedaan yang sangan diametral antara ta’wil bayaniy dengan ta’wil irfaniy. Hal ini lebih disebabkan oleh karena keduanya berasal dari dua epistem yang berbeda. Sekalipun kelompok Mu’tazilah dipandang sebagai kelompok yang rasionalis, justru merekalah yang paling menonjol di dalam membatasi makna dibalik lafazh.

Persoalan mendasar lainnya dalam bidang ta’wil adalah problem hubungan antara nama (al-Ism) dan yang diberi nama (al-musamma), atau antara lafazh dan makna.[48] Menurut Abdul Jabbar, umumnya para mutakallimun menjelaskan bahwa nama (al-ism) terbagi menjadi dua, yaitu nama substansi (asma’ al-dzawat) dan nama sifat, kualitas (asma’ al-shifat). Jika nama substansi (asma’ al-dzawat) tidak bermakna selain isyarat terhadap sebuah substansi, maka nama kualitas (asma’ al-shifat) memiliki makna, dengan menunjuk pada kualitas atau sifat tertentu, sehingga merupakan makna intelektual (ma’na al-‘aqliy).[49]

Oleh karena kaum dialektis ini memisahkan antara lafazh dan makna, maka mereka lebih memprioritaskan makna dalam hal nama kualitas (asma’ al-shifat). Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa ada makna tanpa ada nama (ism, lafazh). Ini artinya bahwa – sebagaimana dijelaskan Abd al-Jabbar – makna sudah ada dalam akal dahulu sebelum lafazh tersebut terekpresikan.[50] Jadi, sebelum lafazh tersebut diucapkan harus diketahui dahulu makna dan dimana konteksnya.

Dalam pandangan kaum Mu’tazilah, ta’wil tidak lebih dari merujukkan ayat mutasyabih kepada yang muhkam. Pembagian ayat ke dalam dua kategori ini, menjadikan kelompok ini membagi teks syar’i ke dalam dua kelompok pula, yaitu kelompok yang disebut dengan manzhum al-Khithab dan kelompok ma’qul al-khithab.[51] Hubungan antara keduanya dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, lafazh bisa dengan sendirinya menunjuk pada arti dalam kapasitasnya sebagai dalil dan argumentasi tidak perlu bantuan, kedua, lafazh bisa menunjuk pada makna tetapi makna yang dimaksud adalah makna yang lain, dan ketiga, lafazh hanya sekedar mengingatkan pada makna yang sudah diperoleh akal.[52]

Pada kondisi yang disebutkan pertama peran akal hanya sebagai alat memahami dan menghimpun makna. Sedangkan pada kondisi yang disebutkan kedua, peran akal sebagai alat penjelas dan penggali makna. Sementara pada kondisi yang disebutkan terakhir, akal adalah alat ta’wil dan deduksi. Dan yang perlu digarisbawahi bahwa dari keseluruhan hubungan (‘alaqah) antara lafazh dan makna di atas, peran akal tidak pernah mandiri tanpa dibayang-bayangi oleh teks syar’i.

D. Penutup

Dari seluruh uraian tentang problem lafazh dan makna, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, benang merah yang menyatukan berbagai disiplin ilmu keislaman dalam satu sistem pengetahuan dialektis adalah bahwa kesemuanya terlibat cukup intens dalam diskusi tentang hubungan antara lafazh dan makna. Atau dengan kata lain, bahwa masing-masing disiplin ilmu memiliki peran dalam mengembangkan pasangan lafazh dan makna.

Kedua, peran akal dalam persoalan yang menjadi isu sentral diskusi dalam lingkup sistem pengetahuan bayani masih bersifat sebagai alat bantu saja, dan belum sampai menduduki peran yang mandiri sebagai sumber makna.

Ketiga, masing-masing bidang atau disiplin keilmuan yang berada dalam epistimologi bayaniy ini banyak terjebak pada particularitas, seperti yang dialami oleh ahli Gramatika Arab dan Ushul al-Fiqh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, “Al-Ta’wil Al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci” dalam Al-Jami’ah, Vol. 39 Number 2 July-Desember 200

——–, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

al-Farra’, Abu Zakariya Yahya bin Ziyad, Ma’ani al-Qur’an, tahqiq Ahmad Yusuf al-Najatiy, al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1955-1973

al-Jabiri, Muhammad ‘Abed, Takwin al-Aql al-Arabiy, Beirut: Markaz Dar al-Tsaqafi, 1991

——–, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyah, Beirut: Markaz al-Tsaqafiy al-Arabiy, 1993

——–, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LkiS, 2000

al-Mutsanna, Abu ‘Ubaidah Muammar bin, Majaz al-Qur’an, al-Qahirah: Maktabah al-Khanjiy, 1954

Al-Zarqani, Muhammad Abd a’-Azhim, Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988

Boullatta, Issa J., Dekonstruksi Tradisi, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LKiS, 2001

Daouglas, Anthony, Enciclopedia Britanica, Cicago: William Benton Publisher, 1972

Edward, Paul, The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3-4, New York: Macmillan Publising, 1967

Ibn Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syari’at, terj. Ahmad Shodiq Nor, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Ichwan, Muhammad Nor, Memasuki Dunia al-Qur’an, Semarang: Lubuk Raya, 2001

Kattsoff, Louis O.,  Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992

Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1989

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992

Sulaiman, Muqatil bin, al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Qur’an al-Karim, Tahqiq ‘Abd Allah Mahmud Syahatah, al-Qahirah: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1975

Titus, Harold H.  dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Prof. Dr. HM. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984


[1]Epistimologi berasal dari bahasa Yunani epistem, yang berarti pengetahuan. Ada dua aliran pokok dalam epistimologi ini, yaitu: (1) idialisme atau biasa disebut dengan rasionalisme, yaitu suatu aliran yang menekankan pentingnya peran akal, idea, category, form sebagai sumber ilmu pengetahuan; dan (2) realism atau empiricism yang menekankan peran indera sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. (Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 243-244; bandingkan dengan Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Prof. Dr. HM. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 207-208)

[2]Lihat Paul Edward, The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3-4 (New York: Macmillan Publising, 1967),  h. 8-9; bandingkan dengan Anthony Daouglas, Enciclopedia Britanica (Cicago: William Benton Publisher, 1972), III., h. 650.

[3]Empirisme adalah suatu aliran yang menekankan pentingnya indera/ pengalaman. Menurut John Lokc (1632-1704) – Bapak Empirisme – bahwa pada waktu manusia dilahirkan dalam akalnya bagaikan sejenis buku catatan yang kosong (tabularasa). Pada buku catatan itulah direkam pengalaman-pengalaman inderawi. Seluruh pengelaman itu diperoleh dengan menggunakan indera yang pertama dan sederhana tersebut. Lock memandang akal hanya sebagai sejenis tempat pengampung yang secara pasif menerima hasil penginderaan. Ini berarti bahwa semua pengetahuan betatapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama dan dapat diibaratkan pula semacam atom-atom yang menyusun obyek-obyek material (Lihat Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 137)

[4]Rasionalisme merupakan suatu aliran filsafat yang menekankan pentingnya peran akal atau rasio. Aliran ini muncul pada masa Renaisance yang dipelopori Descartes – filosof Perancis yang dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern.rasionalisme dikembangkan berdasarkan filsafat ide Plato, yang berpendapat bahwa hasil pengamatan indera tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang berubah-ubah. Lebioh lanjut ia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang bersumber pada indera/pengamatan diragukan kebenarannya. Sedangkan alam ide merupakan alam yang sesungguhnya yang bersifat tetap dan tak berubah-ubah. (Lihat Harold H. Titus, op. cit., h. 187-188)

[5]Pragmatisme adalah suatu aliran filsafat yang mengajarkan bahwa ukuran kebenaran sesuatu yang sedang kita pertimbangkan harus berdasarkan pada konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis. C.S. Piere, salah seorang peletak dasar aliran ini mengatakan: “Untuk memastikan makna apakah yang dikandung oleh sebuah konsepsi akali, maka kita harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi praktis apakah yang niscaya akan timbul dari kebenaran konsepsi tersebut”. Jika tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang praktis, maka sudah tentu tidak ada makna yang dikandungnya. (Lihat Louis O. Kattsoff, op. cit., h. 130)

[6]M. Amin Abdullah, “Al-Ta’wil Al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci” dalam Al-Jami’ah, Vol. 39 Number 2 July-Desember 2001, h. 371

[7]Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abed al-Jabiri, seorang pakar filsafat dan pemikiran Islam, lahir di kota Fejij (Fekik) Maroko pada tahun 1936.  Ia memperoleh gelar doktor pada Universitas Muhammad al-Khamis di Rabat, Maroko tahun 1970 dengan disertasi Fikr Ibn Khaldun: al-Ashabiyah wa al-Daulah . Di antara karya monumentalnya adalah Trilogi Kritik Nalar Arab (Naqd al’-‘Aql al-‘Arabiy). Karya lainnya seperti Adlwa’ ala Musykil al-Ta’lim (1973), Madkhal ila Falsafah al-‘Ulum (1976); al-Turats wa al-Hadasah: Dirasah wa Munaqasah (1991), al-Khithab al-‘Arabiy al-Mu’ashir (1992), dan sebagainya. (Lihat Ahmad Baso, “Postmodernisme Sebagai Kritik Islam: Kontribusi Metodologis “Kritik Nalar” Muhammad Abed al-Jabiri” dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. xiii-xvii)

[8]Dalam perspektif sufistik, ketiga pembagian di atas lebih merujuk kepada klasifikasi pengetahuan. Mereka mendasarkannya kepada al-Qur’ân yang menggunakan term ‘yaqîn’ bersama-sama dengan (1) term haq, yaitu haq al-yaqîn seperti dalam QS. al-Wâqi’ah: 95; (2) term ilm, yaitu ilm al-yaqîn seperti dalam QS.  ; dan (3) term ‘ain, yaitu ‘ain al-yaqîn seperti dalam QS. al-Takâtsur: 5, 7. Menurut al-Qusyairi bahwa ilm al-yaqîn merupakan pengetahuan burhânîy, ‘ain al-yaqîn merupakan pengetahuan bayânîy, sedangkan haq al-yaqîn merupakan pengetahuan ‘iyân (langsung).  Atau dengan kata lain bahwa ilm al-yaqîn untuk golongan rasionalis (li arbâb al-‘uqûl), ‘ain al-yaqîn untuk golongan saintis (li ashhâb al-‘ulûm); dan haq al-yaqîn untuk golongan ‘arif (li ashhâb al-ma’ârif). (Lihat lebih lanjut Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyah (Beirut: Markaz al-Tsaqafiy al-Arabiy, 1993), cet. III, h. 251-252)

[9]Buku pertamanya berjudul Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Struktur Nalar Arab) terbit tahun 1984 di Beirut oleh Dar al-Thali’a. Secara garis besar volume pertama ini membicarakan tentang perkembangan awal struktur epistimologi kebudayaan Arab secara ilmiyah, yaitu mekanisme produksi pemikiran Arab. Sedangkan buku yang berjudul Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyah (Stuktur Nalar Arab: Kajian Analisis Kritis tentang Sistem Pengetahuan dalam Kebudayaan Arab), merupakan kelanjutan kajian al-Jabiri secara komprehensif tentang sistem epistimologis yang beroperasi dalam kebudayaan Arab. Dengan dua bukunya al-Jabiri hendak menganalisis sistem epistimologis kebudayaan Arab sebagai metode memahami realitas. (Lihat Issa J. Boullatta, Dekonstruksi Tradisi, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 70)

[10]Dalam kedua bukunya itu, al-Jabiri tidak menjelaskan kenapa ia memakai Nalar Arab, bukan Nalar Islam seperti yang digunakan Arkoun, Pour Une Critique de la Raison Islamique, Naqd al-Aql al-Islamiy. Namun, setelah dua tahun diterbitkannya Takwin al-Aql al-‘Arabiy (1986), al-Jabiri baru menjelaskan posisinya yang berbeda dengan proyek “kritik nalar Islam”-nya Arkoun. Menurutnya, disamping alasan bahwa literatur yang digelutinya adalah literatur klasik yang berbahasa Arab dan lahir dalam lingkungan geografis, kultural, dan sosial politik masyarakat Arab, juga karena proyek “Kritik Nalar Arab”-nya tidak diproyeksikan untuk membangun satu ‘teologi’ baru. Artinya, bahwa kritik al-Jabiri bukan kritik teologis yang menaruh perhatian besar pada persoalan-persoalan Ketuhanan, wahyu, ortodoksi dan aliran-lairan kalam, tetapi lebih kepada kritik “epistimologis”, yaitu kritik yang ditujukan kepada kerangka dan mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan Arab. Lebih lanjut al-Jabiri menulis bahwa yang dimaksud dengan Nalar Arab adalah la raison constituee (aql mukawwan), yakni himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berfikir) yang diberikan oleh kultur Arab bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Artinya, himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berfikir) yang ditentukan dan dirasakan (secara tidak sadar) sebagai epistem oleh kultur Arab. (Lihat Ahmad Baso dalam ‘Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme…, op. cit., h. xxix-xxx)

[11]Epistimologi bayânîy (eksplikasi) didasarkan pada metode epistimologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara analogis pula dengan menyandarkan yang tidak diketahui kepada yang diketahui, yang tidak tampak kepada yang tampak, dan menyandarkan yang baru pada model masa lalu. Metode ini mencakup seluruh disiplin Arab-Islam awal, termasuk di antaranya adalah ilmu tata bahasa (grammar), retorika, prosodi (ilmu persajakan), filologi, leksikologi, penafsiran al-Qur’an, ilmu hadis, hukum Islam, teori hukum, dan teologi (ilmu kalam); irfânîy (gnotisme) didasarkan pada wahyu dan ‘pandangan dalam’ Islam sebagai metode epistimologisnya, dan ini meliputi sufisme, pemikiran Syi’i, Filsafat Ismaili, penafsiran esoterik terhadap al-Qur’an, orientasi filsafat iluminasi, teosofi, kimia, astrologi, magic, dan numerologi; sedang burhânîy (bukti inferensial) mendasarkan diri pada metode epistimologis melalui observasi empiris dan inferensi intelektual. Disiplin ini mencakup lika, matematika, fisika (seluruh cabang ilmu alam), dan bahkan metafisika. (Dikutip dari Issa J. Boullatta, op. cit., h. 73; Lihat juga Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah…., op. cit., h. 556-557)

[12]Dalam hal ini Muhammad Abed al-Jabiri telah membuat tipologi yang dapat mewakili masing-masing pemikiran, di antaranya al-Haris al-Muhasibi mewakili tipologi pemikiran bayaniy-irfaniy; al-Kindi memadukan tradisi bayaniy-burhaniy; sementara kelompok ikhwan al-shafa dan failusuf Ismailiyyah mewakili tipologi burhânîy-irfânîy. (Lihat al-Jabiri, Bunyah…, ibid., h. 486)

[13]Kritik al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof paripatetik seperti Ibn Rusyd terfokus pada wilayah metafisika yang mencakup tiga masalah besar, yaitu (1) keabadian alam; (2) pengetahuan Tuhan tentang individu-individu; dan (3) kebangkitan jasmani dari kubur di hari kiamat, sedangkan logika formal masih tetap dipertahankan. (Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 137; bandingkan dengan Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 1-33; bandingkan dengan Ibn Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syari’at, terj. Ahmad Shodiq Nor (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. xii

[14]Menurut Amin Abdullah, dominasi epistem bayaniy terhadap kedua epistem lainnya juga terlihat jelas dalam tradisi keilmuan agama Islam di Indonesia, seperti di IAIN, STAIN, Pesantren, dan juga pada Perguruan tinggi umum lainnya.  Menurutnya, sekalipun ketiga epistem ini masih dalam satu rumpun, namun secara praktis ketiganya hampir tidak pernah akur, bankan saling kafir-mengkafirkan. Dominasi dan hegemoni pola pikir tekstual bayaniy ini telah mengakibatkan pola pemikiran keagamaan Islam menjadi kaku dan rigid, dan kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahsiyah. (Lihat lebih lanjut Amin Abdullah, al-Ta’wil al-Ilmiy…, op. cit., h. 372-373)

[15]Lihat Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-Arabi, op. cit., h. 13-20

[16] Menurut al-Jabiri, masa pembukuan (ashr al-tadwin) merupakan masa yang paling penting dalam sejarah kebudayaan Arab Islam, sebab pada masa ini – pertengahan abad ke 2 H – pengetahuan sudah mulai ditulis secar sistematis oleh sarjana-sarjana Arab. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sekalipun pada masa nabi dan khalifah yang awal sudah ada rekaman indivisual, namun rekaman tersebut hanya bersifat sporadis, tidak terorganisir, dan hanya memiliki jangkauan yang terbatas serta tidak memperoleh dukungan formal dari negara dan komunitas. (lihat Issa J. Boulatta, op. cit., h. 71)

[17]Muqatil bin Sulaiman, al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Qur’an al-Karim, Tahqiq ‘Abd Allah Mahmud Syahatah (al-Qahirah: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1975)

[18]Abu Zakariya Yahya bin Ziyad al-Farra’, Ma’ani al-Qur’an, tahqiq Ahmad Yusuf al-Najatiy (al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1955-1973)

[19]Abu ‘Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna, Majaz al-Qur’an (al-Qahirah: Maktabah al-Khanjiy, 1954)

[20]Lihat Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah…, op. cit., h. 21

[21]Ibid., h. 22

[22]Ibid., h. 25

[23]Menurut al-Jahizh dalam wacana bayaniy syarat-syarat yang harus ada antara lain; pertama, kecakapan bertutur kata; kedua, ketepatan dalam pemilihan lafazh; ketiga, terdapat makna yang jelas; keempat, adanya kecocokan antara lafazh dan makna; dan kelima, memiliki kekuatan fungsional. (Lihat ibid., h. 26-30)

[24]Ibid., h. 32-33

[25]Ibid., h. 34

[26]Ibid.

[27]Sejak dari awal, epistem bayaniy memang terkait dengan persoalan-persoalan dimaksud. Epistem ini lebih mendahulukan dan mengutamakan qiyas – qiyas al-illah untuk fiqh dan qiyas al-dalalah untuk kalam – ketimbang manthiq dengan silogisme dan premis-premis logikanya. Epistimologi tekstual-lughawiyyah – al-ashl wa al-far’; al-lafzh wa al-ma’na – lebih diutamakan dari pada epistemologi kontekstual-bahtsiyah maupun spiritualitas-irfaniyah-bathiniyah. Di sisi lain, epistem bayani selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjahui kebenaran tekstual. Bahkan, kerja akal pikiran perlu dibatasi, sehingga perannya lebih hanya kepada pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukan untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat. (Lihat Amin Abdullah, al-Ta’wil al-Ilmi…, op. cit., h. 374

[28]Ibid., h. 41

[29]Muhammad ‘Abed al-Jabiri, Takwin…, op. cit., h. 77; lihat juga al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, op. cit., h. 59

[30]Menurut al-Jabiri, proses kodifikasi (tadwin) bahasa Arab berlangsung setelah menyebarnya dialek yang menyimpang (lahn) dari kemurnian dan keaslian bahasa. Penyimpangan itu muncul akibat proses keterbukaan dan percampuran berbegai segmen masyarakat kota-kota besar di wilayah dunia Islam saat itu. Dari sini lalu timbul usaha-usaha untuk menggali bahasa asli dan murni dilingkungan Arab Badui (al-A’rab) yang merupakan pembenruk Dunia Arab. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya pembukuan itu adalah ikut berperan menjaga kesinambungan satu pola pemahaman dan penafsiran terhadap al-Qur’an secara langsung. Juga mampu mensuplai masyarakat Islam dengan satu bentuk bahasa budaya yang tunggal dan kapabel untuk dipelajari secara ilmiah. (lihat ‘Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme…, op. cit., h. 61)

[31]Maksud dari penciptaan bahasa disini seperti penyusunan huruf-huruf hijaiyyah dalam kerangka memformulasikan dan merumuskan kata-kata dasar yang secara potensial disusun dari huruf-huruf hijaiyyah tersebut, apakah itu terdiri dari dua huruf (tsuna’i), tiga huruf (tsulasi), empat huruf (ruba’i), atau lima huruf (khumasi), dan sebagainya.

[32]Lihat al-Jabiri, Bunyah…, op. cit., h. 41

[33]Lihat ibid., h. 50; juga ‘Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme…, op. cit., h. 69-70

[34]Absennya ketiga kategori di atas dalam logika bahasa Arab, menyebabkan terjadinya pertentangan antara para failusuf Muslim (falasifah) dan teolog Muslim (mutakallimun) ketika berbicara tentang masalah metafisika. Sebab, kalangan mutakallimun yang menjadikan pemikirannya berpusat pada bahasa Arab sebagai satu-satunya otoritas  kerangka acuan, tidak bisa membenarkan ketiga kategori tersebut diterapkan pada manusia. Menurutnya, teks-teks agama melarang hal tersebut. Kalaupun ketiga kategori tersebut hendak dilekatkan pada manusia, hanyalah bersifat metaforis, dan bukan arti yang sebenarnya. Karena manusia tidak punya hak milik. Sedangkan kepemilikan yang sebenarnya hanyalah milik Allah. (Lihat ibid., h. 70)

[35]Lihat Post Tradisionalisme.., op. cit., h. 73-74;  bandingkan dengan‘Abed al-Jabiri, Bunyah…, op. cit., h. 51-52

[36] Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai masalah ini, dapat dilihat lebih lanjut dialog antara kedua tokoh tersebut dalam ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql.., op. cit. h. 54-55

[37]Dikutip dari ‘Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme …,  op. cit., h. 75; Kritik senada juga datang dari Ibn Taimiyyah (w. 1328). Menurutnya, dari semua unsur helenisme, logika formal Aristoteles (al-Manthiq al-Aristhi) merupakan yang paling berpengaruh dan paling merusak sistem pemikiran dalam Islam. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa logika formal ala Aristoteles tidak akan menemukan kebenaran, sebab adanya klaim akan kebenaran universal. Bagi Ibn Taimiyyah, semua kebenaran manusiawi adalah partikular atau individual. Yang dari sana dikenal istilah “al-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan (hakikat ada dalam kenyataan-kenyataan, tidak dalam pikiran-pikiran). Atas dasar inilah, maka logika formal tidak lebih daripada hasil intelektualisasi (ta’aqqul) dalam otak atau pikiran, yang tidak selalu cocok dengan kenyataan di luar. Kebenaran hanya diketahui dengan melihat kenyataan di luar itu. (Dikutip dari Nurcholish Madjid, op. cit., h. 138-139)

[38]Ibid., h. 76; bagi al-Jabiri bahwa faktor kelalaian memahami unsur balaghah sebagaimana yang dikatakan al-Suyuthi, tidak hanya sebagai penyebab terjadinya perbedaan pandangan, tetapi juga lebih sebagai timbulnya misunderstanding, terutama dalam memahami teks al-Qur’an yang menggunakan nalar bayânîy sebagai pisau bedahnya.

[39]Lihat ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql…, op. cit., h. 53

[40]Ibid., h. 55

[41]Ibid., h. 55

[42]Ibid., h. 56

[43]Ibid., h. 63

[44]Ibid., h. 63

[45]Jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang ada bersama Zat-Nya, berada di luar alam nyata, bukan makhluk, dan tidak memerlukan tempat. Bentuk lafal dalam mushaf adalah simbol akan keberadaan sifat kalam Allah, dan sifat kalam itu adalah qadim sebagaimana qadimnya Allah. Jika dikatakan al-Qur’an adalah baru, yang dimaksud adalah lafal-lafal yang dicetak dalam mushaf, yang diucapkan, didengar, dan yang demikian itu tidak qadim. Sedangkan  menurut golongan mu’tazilah, berpendapat  bahwa  hakikat  al-Qur’an adalah huruf-huruf dan suara yang diciptakan Allah SWT yang setelah berwujud lalu hilang dan lenyap. Dengan demikian, maka kaum mu’tazilah memandang al-Qur’an sebagai makhluk (ciptaan) Allah SWT. Oleh karena itu al-Qur’an bersifat baru, dan tidak qadim. Mereka berargumentasi bahwa kalau kalam itu qadim berarti  ada  sesuatu  yang  qadim  selain  Allah  (ta’addud al-qudama’), dan hal ini berarti menduakan Allah. Sedangkan menduakan Allah adalah syirk, dan perbuatan syirik termasuk dosa besar dan tak dapat diampuni. (Lihat Muhammad Nor Ichwan, Memasuki Dunia al-Qur’an (Semarang: Lubuk Raya, 2001), h. 46-48)

[46]Tentanag makna kalam ini, al-Zarqani dalam Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I, h. 15-17, menulis sebagai berikut:

إن اللإنسان له كلام, قد يراد به المعنى المصدرى اى التكتم, وقد يراد به المعنى الحاصل بالمصدرى اى المتكلم به, وكل من هذين المعنيين لفظى ونفسى, فالكلام البشرى اللفظى بالمعنى المصدرى هو تخريك الإنسان لسانه وما يساعده فى اخراج الخروف من المخارج, والكلام اللفظى بالمعنى الحاصل بالمصدرى هو تلك الكلمات المنطوقة التي هي كيفية فى الصوت الحسى, وكلا هذين ظاهر لا يحتاج الى توضيح, اماالكلام النفسى بالمعنى المصدرى فهو تخضير الإنسان فى نفسه بقوة المتكلمة الباطنة للكلمات التي لم تبرز الى الجواريح فيتكلم بكلمات متخيلة يرتبها فى الذهن بحيث اذا تلفظ بها بصوت حسي كانت طبق كلماته اللفظية. والكلام النفسي بالمعني الحاصل بالمصدري هو تلك الكلمات النفسية واللألفاظ الذهنية المترتبة ترتبا ذهنيا منطبقا عليه الترتب الخارجى

[47]Lihat ‘Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql…, op. cit., h. 66

[48]Lihat Ibid., h. 67

[49]Ibid., h. 67

[50]Ibid., h. 68

[51]Ibid., h. 72

[52]Lihat ibid., h. 74

Leave a comment